Tekstil Sabu pada awal abad ke 21
Sebagaimana banyak masyarakat lain menghadapi pengaruh dari luar terutama dari barat, budaya tradisional Sabu dan khususnya tradisi tenunan mengalami guncangan yang luar biasa dan menghadapi bahaya akan punah. Para pengikut agama kuno masih menghormati peraturan dan tabu, dan masih menghasilkan tenunan ritual sesuai prinsip budaya Sabu. Ini merupakan salah satu jaminan dari kepercayaan mereka untuk menjaga agar tidak terjadi pelanggaran adat. Tenunan yang dihasilkan bermuatan kekuatan penting. Tetapi bagi mereka yang mengikuti kepercayaan dunia modern dan menjalankan hidup sebagai orang Sabu modern, peraturan tradisional sudah kadaluwarsa, karena tenunan yang dihasilkan tidak lagi dikaitkan pada kepercayaan traditional, tetapi dianggap sebagai barang komersial yang memenuhi keinginan sang pembeli dan mengikuti permintaan pasar.
Di dalam kotak di bawah ini terdapat dua pandangan berbeda mengenai tenunan Sabu: dari yang paling tradisional sampai yang paling komersial.Ada berberapa tahapan dan kemungkinandi antara kedua pandangan ini.
Tenunan tradisional dan tenunan yang memiliki nilai ekonomis
Tradisi menenun bagi pengikut kepercayaan kuno Jingi tiu (Tenunan bermuatan kekuatan magis) | Tenunan sebagai komoditas (memiliki nilai ekonomi) |
1. Peraturan ketat mendominasi komposisi tenunan | 1. Pelanggaran peraturan tidak dihiraukan oleh para penenun. Sarung (èi worapi) dan selimut (hi’i worapi)yang dihasilkan adalah tekstil netral |
2. Kapas ditanam sendiri oleh sang penenun yang sepanjang tahun membuat benang. | 2. Benang katun komersial/benang toko. Katun yang dipilin sendiri hanya untuk pesanan khusus. |
3. Pewarna alamiah dihasilkan pada kurun waktu tertentu. Proses pewarna indigo memakan waktu satu minggu, proses pewarna mengkudu memakan waktu satu bulan.Mengikuti ritual dengan memberikan persembahan kepada empat nenek moyang yang menjaga proses pewarnaan. | 3. Sepanjang tahun memakai bahan pewarna kimia; proses pewarnaan hanya memakan waktu satu hari.Pewarna alam hanya dipakai atas permintaan khusus.Tidak perlu ada upacara ritual |
4. Musim menenun berlangsung dari bulan April hingga Oktober, disertai upacara dan persembahan kepada nenek moyang yang berperan dalam seluruh proses menenun. | 4. Menenun sepanjang tahun. Kaum laki-laki menenun juga bila upahnya lebih baik dari pekerjaan seorang petani (mis.: menapis air pohon lontar) |
5. Menenun dengan alat tenun gedogan. | 5. Semua pekerjaan menenun dilakukan dengan alat tenun gedogan. |
6. Hanya menenun motif tertentu. Semua motif mengandung makna, cerita (atau sejarah); motif memiliki arti kepahlawanan yang signifikan. | 6. Tidak ada motif yang dilarang. Penenun dapat menenun semua jenis motif, motif tradisional garis keturunan ibu atau motif garis keturunan orang lain; motif yang asalnya dari luar dan kreasi baru dimungkinkan. |
7. Penenun harus memelihara seekor ayam yang tabu (manu pehami), yang dipercayakan dapat melindungi setiap langkah dalam proses menenun. | 7. Tidak mengenal pemeliharaan ayam tabu.Tidak ada larangan atau pemali sama sekali. |
8. Tenunan yang khusus ditenun di rumah adat (tegida) dari keturunan garis ibu (hubi, wini). Pengetahuan diturunkan dan diajarkan di dalam kelompok. | 8. Semua pekerjaan menenun hanya dilakukan di rumah, sebagai tugas individual. Tidak ada pengetahuan yang diturunkan. |
9. Hanya warna tertentu yang boleh ditenun; untuk membuat rumbai ada ketentuan tersendiri | 9. Semua warna boleh dipakai, tidak ada peraturan khusus untuk membuat rumbai. |
10. Tenunan dipakai pada upacara, dan dipersembahkan pada waktu upacara kematian | 10. Tenunan jenis worapi dan bahan tenun yang dijahit menjadi baju dan dipakai untuk kantor dan gereja. Tekstil dipersembahkan pada upacara kematian. |
11. Dibutuhkan satu setengah tahun untuk menghasilkan sehelai tenunan | 11. Untuk menghasilkan satu helai tenunan diperlukan satu hingga dua bulan |
12. Motivasi penenun adalah keyakinan atau kepercayaannya. | 12. Motivasi penenun adalah uang. |
Dewasa ini, sulit untuk memperoleh tenunan Sabu yang terbuat dari bahan kapas yang dipilin tangan dan benang yang dicelup pewarna alami. Bersyukurlah sebuah lembaga swadaya masyarakat Threads of Life (‘Yayasan Pecinta Bebali’) yang juga melaksanakan “Fair Trade”, memulai sebuah program pada tahun 2006 di dua kampung dalam usaha untuk melestarikan tenunan tradisional Sabu dan menjamin kelanjutan produksi menggunakan pewarna alami. Salah satu kelompok penenun ada di daerah Seba, dan yang lain ada di Pedèro, Mesara. Untuk melindungi lingkungan hidup, para penenun telah mulai menanam kembali pohon-pohon mengkudu yang akarnya diperlukan untuk memperoleh warna merah.
Kiri: celup indigo; Tengah: celup mengkudu (warna merah); Kanan: benang yang sudah diberi warna, dibuka.