Iket kepala
Sejauh mana tenunan Sabu bersifat asli?
Tradisi biasanya diasosiasikan dengan umur tua, sesuatu yang kuno dan kebiasaan yang tidak berubah. Apakah tradisi benar-benar statis, tidak pernah berubah ataukah tradisi berubah mengikuti perkembangan zaman? Kapankah sebuah kebiasaan asing menjadi tradisi dan diterima sebagai kebiasaan asli? Pola yang terdapat pada sarung adat Sabu dan yang disimpan di dalam keranjang pusaka dianggap tradisional dan asli; tetapi ternyata bahwa motif yang dianggap tradisional dan asli, sebenarnya berasal dari India yaitu pola patola dan lèba yang hanya diperuntukkan kaum ningrat. Bagian berikut ini mencermati tutup kepala laki-laki Sabu atau lèhu, yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak asli.
Pada bulan September 1770, Kapten Cook berlayar naik kapal ‘Endeavour’ mengunjungi pulau Sabu, di mana ia melihat bahwa pria Sabu memakai sejenis “sorban”. Tradisi menggunakan tutup kepala bagi pria nampaknya sudah sangat tua. Ada dua jenis ikat kepala yang dikenal di pulau Sabu yaitu lèhu (destar) dan lèhu kètu (kètu = kepala). Yang pertama adalah ikat kepala dari batik yang dewasa ini dipakai oleh kaum laki-laki Sabu, dan jenis tutup kepala yang kedua adalah tenunan berukuran kecil yang disebut juga wai yang berarti ‘sabuk’. Sumber kolektif menunjukkan bahwa wai zaman dahulu juga dipakai sebagai tutup kepala. Sejauh ini dokumen tertua yang berasal dari paruh pertama abad ke 19 menggambarkan seorang pria memakai tutup kepala, yaitu sebuah gambar berwarna dari seorang lelaki dalam pakaian perang. Tutup kepalanya tidak terbuat dari kain batik. Ada tiga pertanyaan yang dikemukakan di sini. Pertama, sejak kapan lelaki Sabu memakai tutup kepala? Kedua, terbuat dari apa tutup kepala tersebut? Tiga, apakah tutup kepala merupakan tradisi lokal ataukah berasal dari luar pulau Sabu?
Ikat kepala yang tidak berasal dari Sabu menurut ingatan kolektif
Memakai ikat kepala, terutama ikat kepala dari batik mengingatkan seorang laki-laki Sabu akan cerita mengenai dua orang nenek moyang, yang hidup tigapuluh lima generasi lalu sesuai pengetahuan tentang asal-usul orang Sabu yang diceritakan secara turun-temurun. Yang tertua bernama Hawu Miha yang berarti ‘Sabu Sendiri’. Adik laki-lakinya bernama Jawa Miha, adik tiri yang beribu seorang wanita yang tidak berasal dari Sabu. Jawa berarti ‘orang asing’ dan tidak berarti bahwa ia berasal dari pulau Jawa. Ketika ayah mereka Miha Ngara sudah uzur dan buta, ia memutuskan untuk menurunkan ilmu pengetahuannya yang sampai kini dirahasiakan, kepada putra sulungnya, Hawu Miha, tetapi ibu Jawa Miha menginginkan pengetahuan itu diberikan kepada puteranya. Dengan memakai berbagai dalih dan dengan bantuan ibunya, Miha Jawa menerima pengetahuan dan kekuasaan dari ayahnya. Untuk menghindari kemarahan dan konfrontasi dengan kakaknya, Jawa Miha melarikan diri ke luar daerah. Tahun berganti tahun, akhirnya kedua kakak-beradik berdamai, dan ketika Jawa sekarat, ia meminta agar rambut dan tutup kepalanya lèhu kètu dikembalikan ke negeri asalnya, pulau Sabu.
Cerita ini mengemukakan bahwa di pulau Sabu dikenal dua tradisi. Pertama, bahwa laki-laki Sabu memakai tutup kepala batik untuk memperingati cerita mengenai nenek moyang mereka; kedua, bilamana meninggal dunia di luar pulau Sabu dan bila jasadnya tidak dapat dibawa ke tempat kelahirannya, rambut dan tutup kepalanya harus dikembalikan ke daerah asalnya. Adat ini dikenal sebagai ru kètu. Kedua tradisi ini hingga saat ini masih berlaku di pulau Sabu.
Di pulau Sabu, tutup kepala batik yang dapat diikat dengan berbagai cara dihubungkan dengan Jawa Miha, yang tidak memiliki keturunan di pulau Sabu. Bilamana orang Sabu menemukan asal usul asing di dalam salah satu tradisi, mereka menambahkan kata ‘j’awa’, misalnya ki’i j’awa (domba) atau terae j’awa (jagung). Asal-usul asing diasosiasikan dengan nenek moyang Jawa Miha. Tetapi sebenarnya jagung diperkenalkan semasa zaman kolonial Belanda (mungkin sepuluh hingga limabelas generasi yang lalu), jauh setelah zamannya kedua bersaudara itu hidup. Hal yang sama mungkin berlaku juga bagi tutup kepala batik.
Bila mempertimbangkan ilmu pengetahuan silsilah, cerita mengenai kedua bersaudara Hawu dan Jawa berkisah sekitar abad ke 13 atau 14, jadi pada zaman dinasti Mataram dan Majapahit di pulau Jawa. Pada zaman itu, kemungkinan tradisi batik sedang mencapai puncaknya, walaupun bukti-bukti material tidak ada.
Anggota dewan kepercayaan tradisional Jingi tiu selalu menutup kepala dan rambut mereka. Pada waktu upacara mereka memakai ikat kepala batik atau kadang-kadang tenunan polos dengan tiga warna, hitam, merah, dan putih. Mereka juga bisa memakai kain komersial berwarna merah polos, yang bukan buatan pulau Sabu. Prinsip yang mendasari pilihan mereka adalah bahwa tutup kepala harus berasal dari luar daerah, sebagai peringatan pada nenek moyang Jawa Miha, walaupun tutup kepala tidak harus berupa batik. Misalnya Bapak Maukia, anggota Dewan Jingi tiu yang sedang menjalankan upacara ritual tidak memakai ikat kepala batik, tetapi kain komersial polos berwarna merah, putih dan hitam. Penggunaan tutup kepala laki-laki Sabu dapat ditelusuri kembali dari cerita-cerita setempat, tetapi sayangnya kisah-kisah ini tidak menyebutkan asal atau jenis kain yang dipakai sebagai ikat kepala. Misalnya salah satu cerita menyebutkan sebuah kejadian dramatis di mana seorang gadis bernama Bitu Luji diselamatkan dan dilarikan di dalam sehelai kain tutup kepala. Menurut silsilah Sabu, cerita ini berlangsung pada zaman Portugis kurang lebih 350 hingga 400 tahun yang lalu.
Cerita mengenai kedua bersaudara dan aturan mengenai tutup kepala yang berasal dari luar daerah didasarkan pada sumber-sumber kolektif. Dewasa ini kebiasaan untuk memakai ikat kepala dari batik atau kain luar daerah masih diikuti terus oleh orang Sabu. Apabila ingin memberi hadiah kepada salah seorang anggota atau anggota dewan Jingi tiu, maka hadiah yang paling dihargai adalah ikat kepala dari batik. Meskipun demikian, sebenarnya hal ini berlawanan dengan pernyataan lain yang pernah dicatat di pulau Sabu.
Tutup kepala tenunan lokal
Beberapa fakta menunjukkan bahwa tradisi menenun di pulau Sabu sudah sangat kuno dan kemungkinan besar keterampilan ini berasal dari milenium pertama, ketika para pendatang membawa serta beberapa teknik, khususnya teknik menenun dengan memakai alat tenun yang ketegangannya diatur oleh kaki. Kami telah melihat sisa-sisa penggunaan teknik ini pada pembuatan tenunan Sabu yang paling keramat yaitu wai labe, kain pertama yang dipakai untuk membungkus jasad orang mati. Selanjutnya jenis wai tertentu dipergunakan sebagai sabuk (wai wake), untuk menahan sebilah pisau di pinggang. Jadi sebutan umum ‘sabuk’ yang dipakai sebagai terjemahan wai bisa memiliki arti yang berbeda.
Kain pertama yang dipakai oleh seorang anak laki-laki Sabu disebut hi’i lèko wue atau hi’i wopudi. Hi’i lèko wue berarti ‘selimut yang menghalangi tubuh’ seperti yang terlihat di bagian 3 buku ini. Menurut beberapa nara sumber, bila seorang anak laki-laki diberikan selimut ukuran orang dewasa yang dihias dengan motif ikat, selimutnya yang pertama akan dipakai sebagai ikat kepala. Dewasa ini anak laki-laki memakai celana pendek dan T-shirt dan tidak lagi selimut hi’i lèko wue buatan lokal.
Selimut hi’i lèko wue biasanya terdiri dari garis-garis indigo biru dan hitam dan panjangnya 100-110 cm dan lebarnya 35-40 cm. Dengan kata lain, ukurannya sama dengan kain kuno dari jenis wai, dan mungkin saja dibuat menggunakan alat tenun gedogan yang ketegangannya diatur dengan kaki. Dari pernyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tradisi memakai tutup kepala di pulau Sabu sudah sangat tua dan pada mulanya tidak merupakan kain yang berasal dari luar daerah.
Nara sumber eksternal
Seorang pengamat alam bernama Joseph Banks yang menemani Kapten James Cook berlayar dengan kapal ‘Endeavour’ memberikan deskripsi yang lengkap tentang busana pria dan wanita di pulau Sabu. Mengenai penataan rambut ia menulis:
“Rambut lelaki dan perempuan Sabu umumnya berwarna hitam dan lurus. Rambut pria panjang dan diikat di atas kepala dan dikaitkan dengan sebuah sisir. Para perempuan juga berambut panjang dan diikat di belakang kepala menyerupai sebuah konde.”
Selanjutnya ia mengamati bahwa perempuan tidak pernah memakai tutup kepala, sebaliknya:
“para lelaki selalu memakai sesuatu yang dililit [di kepala], yang walaupun ukurannya kecil terbuat dari bahan yang paling halus yang dapat diperoleh. Banyak memiliki sapu tangan dari bahan sutra, yang ternyata sangat digemari.”
Laporan Cook memberi informasi mengenai lima hal: 1. Hanya lelaki yang memakai tutup kepala. 2. Meskipun memakai tutup kepala, rambut terlihat dan dikaitkan dengan sisir. 3 Ikat kepala berasal dari luar Sabu karena sutra tidak berasal dari pulau Sabu. 4. Ukurannya kecil (seperti sapu tangan) dan 5. Lelaki sangat memperhatikan tata rambut mereka.
Gambar berwarna oleh Van Oort melukiskan seorang laki-laki Sabu berpakaian perang dari paruh pertama abad ke 19 (kanan), menurut pendapat penulis adalah sumber visual pertama yang memperlihatkan pemakaian tutup kepala lelaki Sabu. Tenunan tersebut bergaris merah dan hitam dengan beberapa garis putih. Garis-garis mengingatkan kita pada tenunan laki-laki remaja hi’i lèko wue, menunjuk pada asalnya yang lokal. Tetapi nampaknya ukurannya agak lebih besar dari sehelai sapu tangan atau wai. Memang ada kain yang dibuat secara lokal yang disebut hi’i mea atau ‘selimut merah’ yang mengandung kekuatan magis untuk melindungi si pemakai. Warna merah dikaitkan dengan sesuatu yang panas dan berbahaya, jadi cocok dipakai seorang perajurit. Garis-garis putih dapat mengindikasikan adanya motif tenun ikat halus. Tutup kepala sang perajurit sangat rumit karena terdiri dari kain putih di bagian atas dan sehelai kain polos merah dengan garis-garis kuning di sisi kanan kepala.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tutup kepala di pulau Sabu adalah buatan lokal. Meskipun demikian ada unsur asing, misalnya sehelai sutra putih yang lebih ringan di atas kepala dari pada bahan katun buatan lokal. Gambar Van Oort menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, mengenai kebenaran gambar ini sebagai sumber informasi, karena gambar ini tidak merupakan foto. Seberapa tepat sumber ini? Kedua, apakah gambar ini dibuat di pulau Sabu? Ataukah gambar, atau sketsa dibuat setempat kemudian diselesaikan di Eropa oleh pelukis yang berbeda, mempergunakan tenunan yang dibuat di pulau Sabu sebagai contoh? Ketiga, apakah tutup kepala yang diilustrasikan merupakan tutup kepala yang khas bagi perajurit zaman tersebut ataukah merupakan tutup kepala seorang ‘jagoan’ sebagaimana kata ‘voorvechter’ diterjemahkan? Gambar-gambar yang diambil di pulau Sabu pada awal abad ke 20 menggambarkan laki-laki bangsawan memakai ikat kepala batik, dan tidak pernah memperlihatkan tutup kepala yang rumit sebagaimana dilukiskan gambar Van Oort lebih dari seabad yang lalu. Mengenai tradisi tutup kepala di pulau Sabu, dapat dikatakan bahwa informasi yang diberikan Cook dan Banks pada abad ke 18 dan gambar dari abad ke 19 membenarkan pendapat bahwa laki-laki Sabu umumnya selalu memakai tutup kepala, tetapi tidak dapat dipastikan bahwa tradisi memakai ikat kepala bersifat lokal atau berasal dari luar Sabu. Marilah kita mencoba menggabungkan beberapa sumber informasi mengenai hal ini.
Ikat kepala lelaki Sabu pada awalnya berukuran kecil, jadi mirip tenunan wai, yang mempunyai ukuran yang sama seperti selimut pertama, lèko wue (lihat kain pertama anak-anak). Hal ini dapat merupakan tradisi yang lama, karena kain ini ditenun memakai alat tenun gedogan yang tegangannya diatur kaki. Berkat hubungan dengan dunia luar dan perdagangan dengan orang asing, para lelaki Sabu yang sangat memperhatikan penampilan, terutama kepala yang merupakan bagian tubuh yang paling penting, menumbuhkan cita rasa untuk bahan-bahan yang berasal dari luar Sabu, walaupun dapat memakai ikat kepala dari bahan lokal seperti wai atau lèko wue. Mode baru ini kemudian menjadi tradisi yang menentukan, ditunjang oleh kisah kedua kakak-beradik Hawu dan Jawa. Tidak berarti bahwa ikat kepala itu harus terbuat dari kain yang dibatik, sebagaimana dewasa ini sering diungkapkan. Cook dan Banks (1770), maupun perajurit pada gambar abad ke 19 tidak menyebutkan atau menampilkan ikat kepala batik. Tutup kepala sang perajurit lebih mengingatkan kita pada sebuah ‘sorban’ sebagaimana dideskripsikan oleh Banks.
Tradisi menggunakan ikat kepala batik sudah mulai dikenal sejak awal abad ke 20. Kapten Cook, pada abad ke 18 maupun perajurit pada gambar abad ke 19 tidak menyebutkan atau melukiskan ikat kepala batik, tetapi hal ini sangat jelas terlihat pada foto-foto Belanda dari permulaan abad ke 20. Penggunaan kain batik pada pergantian akhir abad 19 memasuki abad ke 20 berhubungan erat dengan perkembangan industri batik yang luar biasa cepat di pulau Jawa. Perubahan tradisi biasanya berlangsung dalam kurun waktu 50 hingga 70 tahun. Bila suatu praktek berubah menjadi kebiasaan baru, seringkali hal ini tertanam dalam cerita yang kemudian mengukuhkannya sebagai sesuatu yang benar. Cerita mengenai kedua saudara dan keharusan memakai ikat kepala batik mensahihkan cita rasa dan praktek abad ke 20.