Tegida
Tegida adalah tempat berkumpulnya anggota kelompok wini. Biasanya tegida ditandai dengan satu atau dua pohon dadap (erythryna ; Gbr. 3) atau aj’u kare dalam bahasa Sabu, dan / atau ditandai dengan sebuah bangunan kecil yang tonggaknya terbuat dari kayu yang sama. Tidak banyak tegida tersisa dewasa ini, karena orang Kristen biasanya tidak menghadiri pertemuan-pertemuan demikian. Tetapi pohon-pohon tetap ada menandai bekas tegida. Upacara paling penting yang diselenggarakan di tegida disebut b’ui ihi atau ‘siram badan’ dan dilangsungkan malam hari pada bulan purnama selama bulan Bangaliwu, bulan terakhir kalender adat orang Sabu. Pemimpin tegida memberkati para anggota wini atas nama nenek moyang asal. Tegidaadalah tempat untuk meminta bantuan dan perlindungan dari nenek moyang.
Pada malam hari keranjang pusaka diberkati dan isinya diperiksa, dan bila perlu merencanakan pergantian (isi) tenunan. Dua upacara lain berlangsung di tegida, yaitu upacara untuk memetik daun nila atau indigo dan membuat pewarna indigo, dan untuk membuat pewarna merah yang pertama yang diperoleh dari akar pohon morinda atau mengkudu (kèbo, bahasa Sabu). Salah satu tugas kaum laki-laki wini adalah memperbaiki atau membangun kembali tegida yang lama (Gbr. 2).
Di masa lampau tegida memungkinkan seorang perempuan yang menikah di kampung atau daerah lain untuk bersosialisasi dengan anggota wini yang sama atau dengan anggota hubi yang sama di kediamannya yang baru. Di samping jejaring keluarga (suami-isteri), jejaring udu (clan/suku laki-laki), tegida menyediakan jejaring antar anggota wini (garis ibu) yang sama. Jejaring ini sudah mulai punah.