Kain keramat

Wai labe

Gbr.1. Wai labe atau wai made

Tenunan Sabu tidak saja berfungsi untuk mengidentifikasikan orang Sabu, tenunan juga menghubungkan sipemakai dengan garis nenek moyang ibu. Dengan memakai tenunan yang tepat pada waktu meninggal dunia, bila memasuki dunia roh nenek moyang, yang meninggal dengan mudah dapat dikenali oleh nenek moyang kelompok asal garis ibu (hubi atau wini). Komposisi dan bentuk tenunan  untuk kehidupan dunia akhirat berbeda dari tenunan kehidupan dunia sekarang, meskipun demikian tenunan tetap memperlihatkan petanda identitas setiap kelompok.

Di samping èi atau tenunan seremonial perempuan dan hi’i kain tradisional laki-laki, masih ada kategori jenis tenunan lain  yang dibuat untuk kematian yang disebut tenunan mane wai yang berarti ‘menenun sebuah sabuk’. Tenunan jenis ini memiliki kekuatan magis dan dianggap sangat sakral. Ada tiga macam tenunan sakral: wai (sabuk; Gbr. 1) ; èi mea atau ‘sarung merah’ dan hi’i mea atau ‘selimut merah’ (Gbr. 4 kanan & Gbr. 5).

Asal-usul tenunan wai

Asal-usul tenunan wai di hubungkan dengan sebuah mitos ketika langit masih dihubungkan dengan bumi melalui seutas tali. Orang di dunia dengan mudah dapat masuk-keluar langit. Pada suatu hari dua nenek moyang, Wolo Manu dan Dadi Ae memutuskan masuk ke langit untuk menghadiri sebuah pertandingan adu ayam ritual. Alahu-alam, seperti banyak orang lain, mereka menjadi korban tenung hitam yang menyebabkan mereka meninggal. Melihat hal ini, Tuhan di Langit (Apu Lod’o Liru) mengasihani para insan malang ini dan memanggil mereka kembali ke dunia. Hanya dua orang yang kembali ke bumi, yaitu Wolu Manu dan Dadi Ae, keduanya memakai sebuah wai. Sejak itu orang Sabu percaya bahwa manusia yang dikuburkan memakai sebuah wai, pada suatu ketika akan bangkit kembali.

Kebanyakan tenunan yang dibuat selama upacara mane wai (‘menenun sebuah sabuk’) adalah tenunan kematian yang memudahkan orang yang meninggal untuk pindah dari dunia nyata ke dunia tak nyata nenek moyang. Memang betul, upacara penguburan merupakan upacara paling rumit dan paling penting di dalam kehidupan orang Sabu, karena menghubungkan dunia yang fana dengan dunia roh nenek moyang. Menurut kepercayaan tradisional, manusia tidak mati tetapi jiwanya berubah menjadi tidak nyata bagi yang masih hidup dan dapat mencampuri (umumnya secara positif)  kehidupan manusia di bumi.

 Mane-wai: Upacara untuk membuat tenunan sakral

Mane wai in Depe

Gbr.2. Upacara mane wai, hubi iki, Depe, Seba

Setiap anggota agama kuno Jingi tiu memiliki sebuah wai made (‘sabuk bagi yang mati’) atau disebut juga wai labe (‘sabuk yang menutup [jasad]’)  yang mulai ditenun sejak masa kanak-kanak oleh ibunya, dan disimpan di dalam keranjang bernama oko (Gbr. 3) yang tergantung pada salah satu balok rumah di ruang bagian perempuan. Tenunan ini adalah tekstil pertama yang dipakai untuk membalut jasad. Ada sejumlah orang yang telah menganut agama Kristen, masih mengikuti tradisi ini.

Upacara mane wai berlangsung sesudah upacara penguburan, antara bulan Februari dan April, pada waktu bulan menysusut dan sebelum musim menenun tiba. Upacara ini berlangsung satu hingga tiga hari lamanya, tergantung dari jenis tenunan sakral yang dibuat (Gbr. 2). Kain-kain sakral yang diambil dari keranjang pusaka keluarga (kepepe pana) untuk membungkus jasad yang meninggal, harus ditenun lagi untuk menggantikan tenunan yang sudah dipakai. Inilah tujuan dari upacara mane wai. Hanya perempuan anggota dari kelompok garis ibu yang sama dengan yang meninggal (wini) diperbolehkan menenun kain sakral itu, karena dipercayakan bahwa orang yang meninggal itu bertemu dan bersatu dengan para nenek moyang dari garis ibu (hubi, wini) di dunia akhirat.

Oko dibuat untuk menyimpan wai labe

Gbr. 3. Upacara mane wai; oko dibuat untuk menyimpan wai labe

Struktur dan komposisi sehelai kain tenun kematian memperlihatkan hubungan ini. Upacara wai made/wai labe memiliki ketiga warna dari orang Austronesia purba yang bermukim di sini, yaitu indigo biru/hitam, merah dan putih. Di pulau Sabu warna-warna ini merupakan bagian penting dari tubuh manusia. Seratus persen warna hitam berarti kematian. Di dalam wai labe, indigo merupakan warna paling dominan. Warna merah dan putih berupa garis-garis kecil. Tenunan ini tidak memperlihatkan motif ikat. Identifikasi kelompok terlihat pada garis merah (hubi ae) atau biru (hubi iki) dari benang pakan pada kedua ujung kain.

Upacara mane wai mulai pada saat magrib. Sebuah alat tenun gedogan yang sederhana dan pendek dibuat di bawah rumah dari yang meninggal atau di ruang depan rumah (kelaga), dan berada tepat di atas kuburan dari yang meninggal. Panjang dari alat untuk menenun sehelai wai adalah selebar jarak antara puser si penenun dan ujung jari-jari kakinya. Benang yang diperlukan untuk menenun sehelai wai sudah disiapkan sebelumnya dan dicelup pewarna pada saat musim tenun yang lalu. Kain ditenun  sangat jarang dan benang pakannya jelas terlihat. Hal ini memiliki arti yang masuk akal. Istilah untuk benang pakan adalah lua yang berarti ‘pembuluh darah kecil atau vena’ dan ‘urat’. Sebuah persamaan dibuat di sini antara tubuh manusia dan tenunan. Sebagaimana energi kehidupan mengalir di dalam pembuluh darah manusia, pada sehelai tenunan kehidupan itu dialirkan melalui benang pakannya. Setelah meninggal tubuh kehilangan vitalitas dan energi. Benang pakan tidak nampak pada tenunan yang dibuat untuk orang hidup, tetapi terlihat pada kain kematian sebagai tanda bahwa tenunan tersebut adalah seperti jasad pemakainya: hilang vitalitas dan energinya.

Selama upacara mane wai, para perempuan menenun bergantian; kaum laki-laki dari wini yang sama, bertugas menyembelih ayam, kambing dan babi untuk upacara makan bersama, yang akan dilangsungkan setelah kain selesai ditenun. Selama proses menenun adalah tabu untuk minum dan makan. Kemudian doa dipanjatkan dan wai ditempatkan di dalam sebuah kotak kecil yang dibuat pada hari yang sama. Setelah itu digantung pada balok rumah di ruang kaum perempuan, sampai suatu ketika diperlukan lagi. Kemudian diselenggarakan acara makan bersama.

Tiga kain kramat

Gbr. 4. Tiga kain kramat. Kiri: wai labe atau wai made; Di tengah: wai mea; Di sebelah kanan: hi’i mea.

Tenunan merah atau ‘sabuk merah’ (wai mea), sarung merah atau èi mea, dan selimut merah atau hi’i mea, bisa selesai ditenun dalam satu hari, menghasilkan tenunan yang lepas dan jarang. Dapat juga dibuat dalam tiga hari menghasilkan tenunan yang lebih rapat. Tenunan ini pada umumnya berwarna merah, jadi bersifat “hangat” dan memiliki kekuatan [spiritual] luar biasa, melindungi  jasad pemakai bila berangkat ke dunia nenek moyang. Dipercayakan warna merah memberikan energi dan kekuatan kepada yang meninggal dalam perjalanannya menuju ke surga.


 

Kain Kematian Menurut Jenis Kelamin

Mula-mula, jasad pria yang meninggal ditempatkan dalam posisi janin kemudian ditutup secara simbolis dengan sehelai wai labe berukuran panjang 100 – 120 cm dan lebar 30 cm. Kain ini memungkinkan si pemakai pada suatu hari akan kembali ke pulau Sabu. Kemudian jasad dibungkus dengan kain kedua yang dinamakan wai wake (wake adalah pinggang) berukuran 200 – 250 cm kemudian ditutup lagi dengan sejumlah kain seremonial hi’i dari kelompok garis ibu (hubi dan/atau wini). Hi’i ini harus terbuat dari dua bagian (d’ue kene). Tenunan ini mengelilingi jasad kemudian diikat dengan tali yang terbuat dari daun pohon lontar. Akhirnya sehelai selimut merah menopang punggungnya diikuti sehelai hi’i mea kedua yang menutupnya dari kepala hingga lutut.

Upacara kematian seseorang perempuan

Gbr.5. Upacara kematian seseorang perempuan, Èilogo, Liae

Seorang perempuan yang meninggal mula-mula ditutup sehelai èi mea yang lebih kecil dan lebih sempit dari sarung tradisional Sabu. Tenunan ini diikat di bawah ketiak dengan sepotong wai labe, yang juga akan melapangkan perjalanannya kembali ke pulau Sabu. Kemudian jasadnya dibungkus dalam sehelai sarung yang memiliki pola utama kelompoknya (wokelaku untuk hubi ae  atau èi ledo untuk hubi iki). Setelah itu yang meninggal dibungkus dengan beberapa sarung seremonial yang memiliki pola-pola kelompok wini. Jasad perempuan ini juga ditutupi selimut merah untuk menopang punggungnya dan sehelai tenunan merah kedua menutupi kepala hingga lutut.

Keranjang Pusaka (kepepe bra, kepepe pana)

Keranjang pusaka dibuka dan isinya diperiksa

Gbr.6. Keranjang pusaka dibuka dan isinya diperiksa

Tenunan yang berkekuatan magis dan sakral yang disimpan di dalam keranjang pusaka, tidak diletakkan bertumpuk, tetapi digulung satu per satu karena tenunan yang paling tua harus dikeluarkan terlebih dahulu, dan kemudian [setelah ditenun kembali] harus dikembalikan lagi. Dalam kurun waktu, kronologi dalam penciptaan pola telah melahirkan sebuah urutan di antara tenunan yang harus dihormati. Sebuah kepepe pana hanya bisa dibuka pada dua kesempatan saja yaitu pada waktu penguburan dan setahun setelah penguburan ketika sudah selesai dibuat tenunan baru menggantikan yang sudah terpakai (pada upacara mane wai; Gbr. 6). Upacara tersebut dilaksanakan sekitar tengah malam, pada waktu bui ihi, yaitu saat bulan purnama di bulan terakhir kalender adat orang Sabu (antara bulan April dan Juni). Upacara ini memberikan kesempatan untuk memeriksa kondisi semua tenunan yang mungkin sudah tersimpan selama berpuluh tahun, dan setelah itu kaum perempuan yang memeriksanya dapat merencanakan penggantian kain yang sudah dikeluarkan dan dipakai. memperlihatkan berbagai langkah upacara tersebut di kampung Pedèro, di Mesara. Upacara serupa juga sering diselenggarakan setiap tahun di tegida, yaitu rumah adat kecil untuk memuja nenek moyang pendiri dari sebuah kelompok wini. Tenunan yang khas dari sebuah wini dan sejumlah tenunan merah yang serupa dengan tenunan disimpan di dalam keranjang (kepepe bra, kepepe pana).

Sabuk merah, wai mea

Wai mea

Gbr. 7. Wai mea

Dari semua tenunan berkekuatan magis dan sakral, wai mea adalah tenunan satu-satunya yang dapat dipakai selama orang hidup (Gbr. 7). Ukurannya kurang lebih sama dengan wai labe, tetapi pada prinsipnya berwarna merah dengan motif-motif ikat. Seorang laki-laki memakai wai mea yang ditenun oleh ibunya atau saudara perempuannya sebagai pelindung ketika menghadapi masa-masa bahaya dalam kehidupannya, yaitu pada saat upacara pernikahan dan pada waktu perang. Wai mea biasanya dipakai di bawah selimut sehingga tidak tampak dari luar. Meskipun demikian di masa lalu, bila seorang laki-laki pulang membawa kemenangan, ia memasang wai mea di ujung tombaknya, sebagai petanda kemenangannya. Bila saudara laki-laki membangun sebuah rumah baru, saudara perempuan khusus menenun sebuah wai mea dan èi mea bagi saudara laki-lakinya, dan diikat pada balok  rumahnya (èmu rukoko) sebelum atapnya dipasang. Di dalam budaya tradisional pulau Sabu, saudara perempuan dipercayakan memiliki kekuatan spiritual untuk melindungi kesehatan dan keselamatan saudara laki-laki, melalui tenunan sakral yang khusus ditenun untuk saudara laki-lakinya. Hubungan erat antara saudara perempuan dan laki-laki di pulau Sabu masih terlihat di dalam berbagai upacara yang dewasa ini sudah hampir punah.

 Tujuan dari tenunan sakral tidak dilihat dari segi estetika, karena fungsi utama dari jenis tenunan ini adalah untuk memperoleh kekuatan magis. Tenunan ini tidak memperlihatkan pola-pola yang rumit atau mempergunakan teknik menenun yang sulit dan “kekuatannya” tidak dapat dilihat oleh orang luar. Tenunan jenis ini jarang ditawarkan di pasar atau di dalam koleksi museum. Wai labe atau wai made adalah tenunan yang paling penting di pulau Sabu dan mungkin juga merupakan jenis tenunan yang paling tua. Selama kurun waktu ini, tenunan Sabu tidak banyak mengalami perubahan, ini disebabkan karena kekuatan magis yang luar biasa dan sifatnya yang sakral. Tidak ada pola ikat yang ditambahkan ketika pola ikat mulai diperkenalkan di pulau Sabu. Alat tenun gedogan yang pendek yang dipakai untuk menenun tenunan “kuat” ini mengingatkan kita pada alat tenun gedogan yang ketegangannya diatur kaki dari patung Penenun Perunggu yang ditemukan di pulau Flores dan berasal dari abad 6 Sebelum Masehi (Lihat di National Gallery of Australia).

 Saya ingin mengemukakan di sini bahwa orang Austronesia yang menetap di pulau Sabu, tidak saja membawa bahasa tetapi juga keterampilannya menenun, yang dilakukan memakai alat tenun serupa dengan yang dipakai oleh Penenun Perunggu dari Flores yang disebut di atas ini, menghasilkan tenunan-tenunan ukuran pendek, karena injakan kaki sekaligus berfungsi sebagai tongkat benang lungsi. Pada saat itu mereka belum mengenal teknik ikat. Pada upacara mane wai (lihat gammbar di atas) seorang penenun wai labe menggunakan alat tenun dengan ukuran yang sama, menghasilkan tenunan dengan ukuran yang sama pula. Tongkat benang lungsi dan injakan kaki kedua-duanya diikat pada tonggak rumah yang memungkinkan pergantian penenun dengan cepat, karena perempuan harus bekerja bersama untuk menghasilkan sehelai kain tenun. Di masa lalu sabuk wai yang pendek dapat juga ditenun pada alat tenun yang ketegangannya diatur oleh kaki. Perlu diketahui bahwa alat tenun jenis ini masih dipakai di antara orang Austronesia di Indonesia, misalnya di pantai utara pulau Papua.

[box type=”shadow”] Istilah orang Austronesia dipakai untuk menunjuk pada populasi di Asia Tenggara dan Oceania yang menggunakan bahasa yang berasal dari satu rumpun yang memiliki 80 kata (atau akar kata) yang sama. Jarak geografis rumpun bahasa Austronesia mulai di pulau Madagascar di Lautan Hindia hingga Easter Island di Lautan Pasifik. Temuan arkeologis membuktikan bahwa di masa lalu suku-suku bangsa ini memiliki kesamaan istilah dalam beberapa hal, misalnya pembuatan tembikar, agrikultur (padi), arsitektur (rumah panggung), dan keterampilan maritim (navigasi), yang sampai hari ini masih dipakai. Karena itu diyakini bahwa sebelum orang Austronesia berpindah, mereka berasal dari benua Asia atau hidup di lempeng Sunda yang terbenam di laut di Asia Tenggara.[/box]