Sarung adat perempuan
Sarung adat perempuan dalam perspektif sejarah
Masyarakat Sabu diklassifikasikan sebagai masyarakat bilineal dan menganal kelompok-kelompok keturunan patrilineal dan dua garis matrilineal (moieties) atau hubi dari garis keturunan dua kakak-beradaik perempuan. Nama dari kedua kelompok matrilineal diambil dari kedua tangkai buah pohon palem, yaitu hubi ae atau ‘Bunga Palem Besar’ dan hubi iki atau ‘Bunga Palem Kecil’.
Pembagian masyarakat dalam dua kelompok perempuan diturunkan melalui sumber kollektif dalam bentuk ceritera yang mengemukakan tentang sebuah perlombaan menenun yang diadakan antara kedua kakak-adik. Perkawinan antar dua kelompok dilarang sampai dua atau tiga generasi yang lalu. Demikianlah tenunan memainkan peranan yang penting di dalam alliansi perkawinan.
Karena laki-laki dilarang menikah dengan perempuan dari kelompok lain, terpaksa ia menikah dengan wanita dari kelompok yang sama yaitu dari garis ibu dan neneknya. Itu sebabnya komposisi dan pola terlihat pada sarung (èi) dengan jelas membedakan perempuan dari kelompok Bunga Palem Besar (hubi ae) dan kelompok Bunga Palem Kecil (hubi iki). Pola-pola diperoleh dengan mengikat dan mencelup benang lungsi sebelum benang itu ditenun.
Pola dasar dari setiap kelompok
Motif utama pada sarung dari kelompok Bunga Palem Besar bersegi dan berbentuk geometris, dan terdiri dari tiga buah bentuk belah ketupat (wokelaku; Gbr. 1), sedangkan dasar kelompok Bunga Palem Kecil terbuat dari garis bergelombang yang pembuatannya melalui teknik ikat yang memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi (Gbr.2). Nuansa warna tenun hubi ae lebih muda dari hubi iki. Alasannya: di pulau Sabu sebagaimana di banyak masyarakat Austronesia yang lain, dua saudara berada pada awal penciptaan organisasi social. Dalam hal dua kakak-beradik laki-laki, yang tua berperan sebagai laki-laki, sedangkan yang lebih muda memiliki simbol-simbol perempuan. Di pulau Sabu kedua saudara itu adalah perempuan, di mana kakak perempuan tertua memakai tanda laki-laki seperti warna yang lebih muda dan nomor ganjil, sedangkan adik perempuannya memiliki ciri-ciri seperti warna gelap dan nomor genap.
Bagi mereka yang matanya kurang terlatih, tenunan Sabu mungkin memberikan kesan membosankan, karena komposisi dan warna kurang bervariasi. Meskipun demikian penggunaan tiga warna secara traditional memiliki dasar yang kuat. Warna alami dari benang katun (putih) warna biru tua dari dedaunan indigo (d’ao Bah. Sabu), dan warna merah dari akar pohon mengkudu (atau kèbo Bah. Sabu) merupakan warna utama bagi orang Austronesia purba yang berdiam di Indonesia sejak millenium pertama atau mungkin juga sebelum waktu itu. (Sebagai pembanding, perhatikan misalnya hiasan rumah dan/ atau tekstil di Sumatera, Bali, Kalimantan, Sumba, Toraja dan Tanimbar). Di pulau Sabu tiga warna ini membentuk tiga unsur penting badan, atau ‘darah’ (humors) bagian fundamental yang terdapat di dalam badan setiap mahkluk hidup. Raa di dalam Bahasa Sabu berarti darah dalam Bahasa Indonesia. Keseimbangan dari ketiga unsur ini dalam tubuh berhubungan dengan keseimbangan kosmis dan keadaan fisik yang sehat walafiat bagi badan manusia, demikian juga bagi tenun yang melindungi badan.
Perbedaan dalam jumlah baris polos dinamakan ro’a penting sekali dan merupakan petanda identifikasi di pulau Sabu (kelompok Bunga Palem Besar: tujuh baris polos berwarna indigo (Gbr. 4) dan kelompok Bunga Palem Kecil: empat baris polos yang lebih lebar berwarna biru tua sampai hitam (Gbr. 3). Istilah ro’a berasal dari terminologi perkapalan. Pengertian kata ro’a adalah jarak antara dua papan yang diisi dengan serat kulit pohon; tetapi juga berarti jarak antara dua balok pada atap rumah. Hal ini menunjukkan bahwa perahu yang membawa para nenek moyang dari lautan seberang, rumah-rumah yang dibangun berbentuk perahu, dan tenunan merupakan bagian dari satu kesuluruhan yang utuh, suatu konsep utama dari pendatang utama.
Tenunan Sabu dan tubuh manusia
Biasanya bagian-bagian tenunan dihubungkan dengan tubuh manusia, karena sehelai tenunan dianggap sebagai sesuatu yang memiliki jiwa dengan tiga warna yang dihadirkan sebagai kekuatan magis yang penting. Sambungan di tengah kain (bèka) dianggap sebagai tulang belakang (rudèbo), sedangkan ujung-ujungnya dianggap sebagai ‘mata halus’ (wurumada). Motif ikat yang kecil (juli ngiu) di antara dua ro’a merupakan adalah jantung dan hati (pusat pengendalian emosi). Jarak kosong pada akhir baris ikat adalah kerongkongan dan nafas (henga) yang juga bisa berarti ‘jiwa’. Pusat dari baris utama sebuah motif (hebe) adalah puser/pusat (èhu) seluruh kain. Salah satu petanda yang penting, walaupun tidak terlihat bila sarung dipakai adalah warna pada pinggir sambungan tengah, yaitu warna merah untuk kelompok Bunga Palem Besar dan biru kehitaman untuk kelompok Bunga Palem Kecil. Tetapi bila sehelai sarung disimpan di dalam keranjang pusaka (kepepe), sambungan tengah tampak dengan jelas dan semua tenunan di dalam keranjang memperlihatkan warna yang sama pada pinggir sambungan. Walaupun tulisan ini hanya mengacu pada pulau Sabu, prinsip dasar untuk mengidentifikasi kedua kelompok juga berlaku bagi pulau Raijua, karena antara kedua pulau perkawinan campur terjadi berulang kali di dalam sejarah.
Perubaan
Dalam kurun waktu tertentu, setiap kelompok membentuk sub-kelompok yang disebut bibit atau wini dalam bahasa Sabu. Setiap wini paling sedikit memiliki satu motif yang khas dan satu tempat berkumpul (tegida) untuk memuja nenek moyang kelompok. Kelompok Bunga Palem Besar memiliki tujuh wini, yaitu D’ila Robo, Ga, Mèko, Pi’i, Migi, Raja dan Waratada, sedangkan kelompok Bunga Palem Kecil memiliki tiga wini yaitu Jawu, Putenga, dan Waratada. Jumlah wini yang lebih besar terdapat di pulau Raijua.
Ada berberapa wini yang kemudian membentuk sub-kelompok yang diberi nama sesuai dengan nenek moyang yang spesifik, misalnya rumah adat Ina Loni Dimu di desa Pedèro, Mesara dibangun oleh sub-kelompok dari wini Ga (kelompok Bunga Palem Besar) pada abad ke 18. Wini Putenga (Bunga Palem Kecil) juga membentuk sejumlah sub-kelompok dari sub-kelompok.
Dengan diciptakan fungsi atau kedudukan seorang raja (Regen Belanda) dan fetor (Wakil Regen Belanda) pada zaman kolonial, muncullah sebuah kelas penguasa baru. Perempuan dari kelas ini mulai memperindah tenunannya dengan menambah baris-baris kecil dengan tenun lungsi tambahan yang disebut raja kelompoknya dari rakyat biasa. Tenunan jenis ini kemudian dinamakan tenunan raja (èi raja; Gbr. 4). Di kelompok penguasa ini juga banyak yang beralih menganut agama Kristen. Sangat mungkin sarung yang netral seperti èi worapi ditenun oleh istri-istri dan anak perempuan kaum ningrat yang sudah pindah agama (Gbr. 5). Mereka ini juga mengembangkan pola-pola baru seperti motif patola yang diambil dari tekstil India (Gbr. 5 & 6), atau motif lèba yang berarti ‘dilarang’ atau ‘tabu’ (Gbr 9). Penggunaannya sama seperti motif larangan pada batik Jawa di kertaon Yogyakarta dan Solo. Pola lèba mengingatkan kita pada dua ekor naga yang distilasikan yang juga merupakan pola ‘pinjaman’.
Perlu dicatat di sini bahwa ada dua motif patola, satu motif untuk kelompok Bunga Palem Besar dan satu untuk kelompok Bunga Palem Kecil, sehingga identitas kelompok dari si pemakai sarung bermotif patola tetap terlihat dengan jelas (Gbr. 5 & 6).
Tenunan spesifik sebuah wini disimpan di dalam tegida, rumah adat sub-kelompok wini. Meskipun demikian, sebagaimana di banyak tempat di Indonesia, pada decade tahun tujuh-tujuhan kebanyak orang yang secara missal beralih kepercayaan ke agama lain. Sekaran mayoritas penduduk pulau Sabu beragama Kristen, dan tidak lagi mengikuti aturan agama nenk moyang Jingi tiu, sehingga tidak perlu menghadiri rapat-rapat di rumah adat dari kelompok garis ibu.
Dewasa ini kebanyakan sarung dari kelompok Bunga Palem Besar memperlihatkan garis-garis raja, karena ingin meniru mantan kaum bangsawan, yang sekarang sudah tidak ada lagi di pulau Sabu. Perempuan Sabu paling menyukai sarung jenis worapi,walaupun proses ikat untuk memperoleh tiga warna di dalam baris motif lebih rumit dan menyita banyak waktu. Motif utama dapat berbentuk tradisional yaitu yang berbentuk abstrak, geometris atau merupakan kreasi baru mengikuti selera zaman dan keinginan sang penenun.
Jadi penenun dewasa ini dapat menenun berbagai motif yang tidak berhubungan dengan kelompok asal si penenun. Ini berarti tenunan Sabu mulai kehilangan petanda identitas kelompok asal.Perlu disebutkan di sini bahwa pola-pola geometris dan abstrak dihubungkan dengan nenek moyang pertama yang disebut di dalam silsilah mantra, misalnya motif kobe morena dari nenek moyang Ga lena berasal dari zaman sebelum bangsa Portugis tiba di Sabu. Motif kobe mola’i dari Mojo Lado berasal dari zaman Portugis (Lihat juga Ikats of Savu, G. Duggan, 2001).