Kain adati Sabu / Bunga Palem dari Sabu

Bunga Palem dari Sabu / Palm Blossoms of Savu

Memperkenalkan tradisi tenun dari Sabu, Nusa Tenggara Timur

Buku kecil ini dibuat berdasarkan empat artikel yang dimuat di dalam Jurnal Wastra, majalah Himpunan Wastraprema, Jakarta yang terbit dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris  (nomor 11 bulan Desember 2007; no 12 bulan Juni 2008; no. 13 bulan Desember 2008; dan no.14 bulan Juni 2009). Ucapan terima kasih ingin saya tujukan kepada Mariah Waworuntu, editor utama Jurnal Wastra bukan saja untuk bantuan dan panduan yang telah diberikan, tetapi juga untuk bantuannya menerjemahkan naskah dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Tesis doktor saya berhasil meraih Penghargaan Wang Gungwu dari Universitas Nasional Singapura. Penghargaan ini telah membantu membiayai penerbitan buku ini. Sungguh menggetarkan hati, saya dapat menyumbang  kembali dalam bentuk buku kecil ini, pengetahuan para penenun dan tetua adat yang telah berbagi ilmunya dengan saya selama lebih dari limabelas tahun. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang telah membantu mengumpulkan informasi, sehingga pengetahuan ini terjamin kelestariannya bagi generasi penerus. Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya saya ingin haturkan kepada Bapak Elo Huma Lado dalam perannya sebagai nara sumber, fasilitator, asisten dan penerjemah di lapangan selama kurun waktu ini.

Ei worapi, hebe patola hubi iki

Teknik ikat; motif ‘patola’ untuk kelompok Bunga palem kecil

Masyarakat Sabu diklassifikasikan sebagai masyarakat bilineal dan menganal kelompok-kelompok keturunan patrilineal atau disebut juga clan atau suku, dan dua garis matrilineal (moieties) atau hubi dari garis keturunan dua kakak-beradaik perempuan. Hubi berarti ‘bunga pohon palem’. Tekstil merupakan bagian penting dari kehidupan  masyarakat Sabu. Tekstil Sabu berupa tenun ikat yang ditenun dengan teknik ikat dan celup untuk memperoleh pola tertentu. Sejak permulaan pekerjaan utama perempuan sehingga perempuan memainkan peran utama dalam masyarakat Sabu, yang khususnya menunjuk pada garis ibu. Tidak mungkin mengerti tenunan pulau Sabu tampa memahami struktur social unik dari pulau ini.

Kisah asal-muasal : dua akak-beradik perempuan

Benang yg sudah diikat dan diberi warna untuk membuat tenun worapi.

Benang yg sudah diikat dan diberi warna untuk membuat tenun worapi.

Menurut silsilah mantra pulau Sabu yang  bersifat rahasia dan kramat, masyarakat terbagi dalam dua kelompok atau moieties (dari kata Prancis ‘moitié’ atau ‘setengah’) yang merupakan keturunan dua kakak-beradik perempuan bernama Muji Babo dan Lou Babo. Pembagian ini sudah ada jauh sebelum terbentuk clan atau suku (laki-laki). Menurut sumber kollektif, Wunu Babo, kakak laki-laki mereka memberikan kepada kedua kakak-beradik ini masing-masing setangkai buah pinang (areca) besar dan kecil. Jadi pulau Sabu pada mulanya memiliki struktur masyarakat matrilineal (bukan matriarkat!), di mana para wanita bersama kakak laki-laki tertua berperan dalam mengatur organisasi sosial masyarakat. Nama dari kedua kelompok diambil dari kedua tangkai buah pohon palem, yaitu hubi ae atau ‘Bunga palem besar’ dan hubi iki atau ‘Bunga palem kecil’. Perbedaan antara besar atau kecilnya tangkai tidak menunjuk pada status dalam hierarki atau kelas tertentu, tetapi hanya pada ranking kelahiran kedua kakak-beradik. Ranking kelahiran membentuk suatu tatanan siapa yang lahir lebih dadulu dan siapa lahir belakangan. Tatanan ini merupakan salah satu ciri organisasi masyarakat di budaya Asia Tenggara. Hal ini dapat dilihat dari cara orang menyapa di dalam bermasyarakat di Indonesia dengan menggunakan kata ‘kakak’ atau ‘abang’ dan ‘adik’.

Pembagian masyarakat dalam dua kelompok perempuan diturunkan melalui sumber kollektif dalam bentuk  ceritera yang mengemukakan tentang sebuah perlombaan menenun yang diadakan antara kedua kakak-adik yang beruba menjadi pertengkaran yang hebat. Akibatnya, perkawinan antar dua kelompok dilarang sampai dua atau tiga generasi yang lalu, ketika penduduk Sabu mulai beralih ke agama Kristen. Demikianlah tenunan memainkan peranan yang penting dan merupakan kartu tanda penduduk kuno sebagai pendahulu dari kartu identitas dewasa ini. Tradisi ini sudah ada sejak berabad yang lalu dan masih dikenal antara penikut kepercayaan kuno Jingi tiu yang sekarang terancam akan punah dalam satu atau dua generasi ini.

Lihat juga: – Sarung adat perempuanSelimut laki-lakiKain pertama anak-anakIket kepalaKain kramatTegidaTekstil Sabu pada awal abad ke 21Kesimpulan